Jumat, 02 Juli 2010

Pelajaran dari Nasruddin Hoja

...

Marcopolo kaget menyaksikan kejadian aneh di dalam area pemakaman. Dia melihat empat orang lelaki. Tiga orang duduk berbaris di belakang sebuah makam yang baru digali. Yang paling depan seorang Arab bersorban, dibelakangnya seorang pemuda China yang sedang menangis, dan paling belakang adalah rahib tua yang bersedekap dengan agungnya. Sementara di depan mereka, di seberang liang kubur, tampak seekor keledai merumput dengan acuhnya. Setelah ia perhatikan, ada satu hal yang membuatnya berhenti dan tidak jadi mendekat.

Seorang Arab itu sedang berbicara dengan keledai. "Tolonglah saya, Nasruddin", katanya dengan nada memelas. "Saya benar-benar senewen. Saya tidak betah tinggal di rumah sendiri. Rasanya seperti di dalam neraka. Istri dan mertua saya tiap hari kerjanya mengomel terus. Dari pagi hingga pagi lagi. Dan anak-anak saya memperlakukan seluruh ruangan sebagai tiruan medan perang badar. Semua kacau dan ribut. Bagaimana saya bisa istirahat?".

Terdengar batuk yang keras, disusul suara serak bertanya, "Kau ingin tinggal di rumah dengan perasaan lebih nyaman?"

ia terpana. Bukan keledai itu yang berbicara. Tapi bukan berarti berkurang keanehannya. Suara itu berasal dari dalam liang kubur!.

Si orang Arab mengangguk-angguk sampai sorbannya mau jatuh. "Tidak ada yang lebih kuinginkan selain itu."

"Gampang kalau begitu", suara serak itu terdengar lagi.

"Bagaimana?" Si orang Arab berbinar penuh harap.

"Kau punya kuda?" suara serak itu balik bertanya.

"Dua", jawab si orang Arab.

"Lembu?"

"Tiga."

"Kambing?"

"selusin."

"Ayam?"

"Banyak."

"Di mana kau menaruh mereka?"

"Dalam satu kandang."

"Bagus", suara serak itu terdengar puas. "Mulai besok, kau pindah ke kandang dan tinggal di sana selama sebulan. Dijamin setelah itu kau akan merasa lebih nyaman tinggal di rumah. Kau bisa melakukannya?. Bagus. Biaya konsultasiku sepuluh dukat. Pasien berikutnya!"

Marcopolo ternganga. Itu cara pemecahan paling gila yang pernah kudengar. Saran yang hanya mungkin keluar dari mulut orang yang tidak waras. Tapi sesaat kemudian, setelah kupikir-pikir, ia baru menyadari sesuatu.

Itu juga saran yang jenius!

Setelah si orang Arab membayar biaya konsultasi dan pergi, kini giliran si pemuda China beringsut ke tepi liang kubur. Air matanya masih terus menetes.

"Ada masalah apa, Koh?" suara itu bertanya dengan bahasa China yang fasih.

"Kau harus menolongku, Mullah." Suara orang China ini jauh lebih memelas lagi. "Aku tidak bisa tidur, tidak bisa makan, dan rasanya ingin mati saja."

"Itu artinya cuma satu, patah hati."

Orang China itu mengangguk. "Kekasihku pergi meninggalkan aku. Dia kabur dengan seorang saudagar kaya dari Siam. Aku ingin dia kembali padaku. Bagaimana caranya?"

Orang China itu berhenti. Menunggu yang ditanya menjawab. Tapi, entah kenapa tidak ada sahutan yang terdengar. Kubuaran itu sesunyi... kuburan.

"Mullah?" si orang China bertanya lagi dengan heran. "Kenapa engkau malah diam saja?"

Terdengar batuk tertahan. Seperti batuk orang tersedak.

"Kau benar-benar ingin kekasihmu kembali?"

"Hanya itu yang kuinginkan sekarang!"

"Baiklah, terima ini." Sebuah kantung kecil terlontar dari dalam liang kubur.

"Apa isinya, wahai Mullah?"

"Tanah kuburan."

"Tanah kuburan?"

"Kau tak salah dengar."

"Apa yang harus kulakukan dengan tanah kuburan ini?"

"Taburkan itu ke halaman rumahnya. Niscaya dia akan kembali padamu."

"Terima kasih, Mullah."

"Biayanya sepuluh dukat."

"Aku akan memberimu dua puluh."

"Terserah."

Orang China itu mulai bangkit dan hendak beranjak pergi dengan wajah berseri.

"Tunggu." Tiba-tiba suara serak itu memanggilnya lagi.

"Ya, Mullah?"

"Kau juga harus membawa ini." Sebuah sekop terjulur dari dalam liang kubur.

"Untuk apa?"

"Kau harus mulai berlatih dari sekarang, agar saat menggantikanku kelak, kau tak akan gampang kena encok sepertiku."

Si orang China terperanjat. "Menggantikanmu? Mengapa aku ingin menggantikanmu?"

"Kau akan menjadi sepertiku kalau kau pakai jampi itu."

"Aku... aku tidak mengerti maksudmu."

Terdengar helaan napas. "Kau tahu kenapa aku disini?"

Orang China itu menggeleng.

Kembali terdengar batuk keras disusul deham untuk melancarkan tenggorokan. "Kau tahu, Nak, sungguh salah kalau asmara itu diistilahkan jatuh hati. Saat kita dimabuk cinta, yang jauh bukanlah hati, melainkan akal sehat kita. Seperti yang kau lakukan sekarang, aku dulu minta jampi-jampi untuk mendapatkan seorang perempuan bermuka dua seperti yang kau kejar itu. Jampi-jampi itu berhasil. Tapi apa yang kudapat sekarang? Hidup bertahun-tahun dalam pertengkaran sebelum ditendang dari rumahku sendiri, bahkan harus minggat dari negeriku sendiri, hanya dengan baju yang melekat dan seekor keledai tolol. Beruntung Mullah Umar mau menampungku tinggal di masjidnya sekaligus memperkerjakan aku sebagai tukang gali kubur. Nah, karena kau melakukan hal yang sama untuk seorang perempuan yang sama, aku yakin nasibmu akan sama sepertiku. Jadi tukang gali kubur."

Orang China itu menggeleng. "Tidak, aku tidak akan bernasib sepertimu. Dia tak akan melakukan hal seperti itu padaku."

"Kenapa tidak?"

"Karena dia tidak sejahat itu. Kekasihku orangnya lembut dan penyayang."

"Kalau memang dia tidak sejahat itu, kenapa dia tega meninggalkanmu?"

Orang China itu terdiam sejenak. "Dia... dia hanya terpengaruh oleh kekayaan orang Siam itu."

"Apakah perempuan yang gampang terpengaruh oleh harta itu bukan perempuan yang jahat? Mungkin saja bukan. Tapi, apa kau yakin ingin hidup selamanya dengan perempuan yang mudah silau oleh harta orang lain? Kau yakin perempuan seperti itu yang kau inginkan?"

Hening. Orang China itu berhenti menangis. Ia menimbang-nimbang kantung di tangannya. "Tapi aku mencintainya..."

"Seperti kubilang tadi, cinta itu berbanding terbalik dengan akal sehat. Siapa pun jadi idiot kalau sedang dilanda cinta."

"Aku tidak bisa melupakannya," si orang China bersikeras.

"Makanya, bawa sekop ini dan mulailah berlatih menggali kubur dari sekarang."

Orang China itu menatap sekop yang diacung-acungkan di depan hidungnya, lalu ia menunduk ke kantung di tangannya. "Mungkin lebih baik aku bunuh diri saja, biar dia tahu betapa dalamnya cintaku padanya."

Terdengar dengusan dan suara terkekeh yang serak dari lubang kubur. "Ya, mungkin dia akhirnya akan tahu. Lalu kenapa? Kau mengharap dia berduka dan mengenangmu selamanya? Kau pikir perempuan yang sampai hati meninggalkan kekasihnya akan berlaku demikian? Kurasa tidak. Paling dia hanya kaget sebentar. Lalu hari demi hari berlalu, dan kehidupan kembali normal, dia melahirkan anak, punya tetangga baru, bercanda dan tertawa lagi. Hei, mungkin dia akan menjadikanmu sebagai bahan obrolan sore sebelum kembali ke kamar dan melayani orang Siam itu dengan mesra."

"Sudah, hentikan," Orang China itu menyeka air matanya dan menarik napas dalam-dalam. "Mungkin kau benar, Mullah. Aku memang pecundang yang bodoh."

"Kau ingin dunia mengenangmu sebagai pecundang yang bodoh, Nak?"

"Kurasa tidak..." sahut orang China itu dengan nada menggantung. Perlahan diletakkannya kantong berisi tanah di dekat liang kubur. Ia tidak jadi membawanya.

"Pulanglah," Suara serak tiba-tiba terdengar serius dan bijaksana. "Menangislah di kamar dan pecahkan semua barang di rumahmu seakan-akan semua itu adalah si orang Siam atau kekasihmu. Lakukan itu tiga kali sehari selama hatimu masih merasa sakit. Melampiaskan emosi adalah obat paling mujarab untuk patah hati dan semua gangguan jiwa lainnya. Emosi yang terpendam hanya akan membuatmu sinting atau menderita borok usus. Jika kau melakukannya secara teratur dan disiplin, paling lama sebulan lagi kau akan merasa jauh lebih baik. Tuh, kau sudah bisa menangis sekarang. Bawa kembali uangmu. Kau membutuhkannya untuk mengganti semua barang yang kau pecahkan nanti."

Orang China itu beranjak pergi sambil merenung. Marcopolo mengamatinya dari jauh. Ia memutuskan untuk menunggu sampai "pasien" yang terakhir mendapat gilirannya. Sang Rahib beridiri dengan sikap menantang di tepi liang kubur.

"Ada masalah, Rahib?" Tanya suara serak itu.

"Aku tidak punya masalah, orang tua," Sahut rahib itu cepat.

"Jadi, kau ingin memesan liang kubur?"

"Tidak, aku ingin menantangmu."

"Siapa paling cepat menggali kubur?"

"Tidak, tidak." Rahib itu menggeleng dengan sebal.

"Beberapa orang menganggapmu sinting, tapi sebagian menganggapmu sufi atau wali dengan kecerdasan yang tak terjangkau otak normal. Beberapa jemaahku malah ada yang menganggapmu Santo. Aku ingin membuktikan mana yang benar."

"Kau akan menggantungku dan melihat apakah aku akan bangkit di hari ketiga?"

"Tidak. Aku hanya akan mengajukan beberapa pertanyaan."

"Apa pertanyaan itu?"

"Penganut agama apa yang lebih akrab dengan Tuhan?"

"Muslim, tentu saja."

"Kenapa?"

"Sebagian memanggil-Nya , 'Bapa', sebagian lain memanggilnya 'Om', tapi orang Muslim langsung memanggil nama panggilan-Nya."

"Bisakah Yang Maha Kuasa menciptakan sesuatu yang tidak bisa dikuasai-Nya?"

"Kau harus melihat istriku."

"Mengapa Tuhan menciptakan neraka?"

"Untuk menampung orang yang mengajukan pertanyaan semacam itu."

"Bisakah seekor keledai masuk kerajaan surga?"

"Aku tak ingin menyinggung perasaanmu."

Rahib itu tertawa terbahak-bahak.

"Sudah puas?"

"Satu lagi, ini pertanyaan pamungkas!"

"Silahkan."

"Jika kau memang seorang sufi yang cerdas, kenapa engkau sampai kalah dengan istrimu?"

Suara serak itu menjawab, "Menurutmu siapa yang menyebabkan Nabi Adam dibuang dari Surga?"

Rahib itu terpingkal-pingkal.

"Bagaimana kesimpulanmu, aku ini cendekia atau gila?"

"Kurasa dua-duanya."

"Kesimpulan yang bagus. Biayanya seratus dukat. Kau mengajukan banyak sekali pertanyaan. Pasien berikutnya!"

Sambil terus terpingkal-pingkal, rahib itu akhirnya pergi. Saat itulah, Marcopolo mendekati liang kubur, penasaran seperti apa sosok yang mampu melontarkan ucapan gila dan cerdas dalam waktu bersamaan itu.

...

Sumber : Wasistha, Nugraha. 2010. Sufi Nyentrik & Misteri Kota Terlarang. Jakarta : Dastan Books.