Minggu, 16 Desember 2012
MODEL DISAIN KURIKULUM AKADEMIK SEBAGAI ALTERNATIF MENDISAIN KURIKULUM PENDIDIKAN MATEMATIKA
Rabu, 07 November 2012
Prinsip Pemilihan Materi Ajar
1. Relevansi
Relevansi bermakna bahwa materi yang disampaikan relevan dengan standard kompetensi dasar sebagai pengejawantahan kurikulum. Pada kompetensi dasar tersirat konsep yang harus diajarkan dan karakteristik konsepnya. Jika konsep merujuk pada jenis konsep tentu diperlukan strategi pengajaran spesifik sebaiknya siswa diberikan fakta-fakta konkrit kemudian sisiwa dapat membantu inferensi dari interaksi fakta-fakta yang dikemukakan oleh guru.
2. Konsistensi/Keajegan
Materi pelajaran harus memiliki keajegan hal ini dikaitkan dengan prinsip bahwa materi yang diajarkan sesuai dengan keluasan kompetensi dasarnya. Jika pada kompetensi dasar tercantum kalimat "Memahami struktur atom sifat-sifat periodik unsur dan ikatan kimia" maka materi yang diajarkan harus meliputi struktur atom, sifat-sifat periodik unsur dan ikatan kimia.
3. Kecukupan
Prinsip kecukupan bearti bahwa materi yang diajarkan tidak boleh terlalu dalam ataupun terlalu sedikit. Materi ajar yang disampaikan harus cukup memadai untuk membantu siswa mencapai kompetensi dasarnya.
Langkah Pemilihan Materi Ajar
Kriteria pokok pemilihan materi pembelajaran adalah standar kompetensi dan kompetensi dasar. Setelah diketahui kriteria pemilihan bahan ajar, sampailah pada langkah-langkah pemilihan bahan ajar meliputi:
a. Identifikansi aspek-aspek yang terdapat dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar.
Setiap standar kompetensi dan kompetensi dasar memiliki aspek yang berbeda baik materi ajar, maupun strategi pengajarannya. Jenis materi fakta tentu menghendaki referensi yang lengkap seperti ensiklopedi dan rumus-rumus secara akurat. Materi bersifat fakta pun dengan segera akan menuntut cara mengajar yag spesifik misalnya dengan memberikan cara menghafalkan unsur kimia dengan jembatan keledai.
b. Identifikasi jenis-jenis materi bahan ajar.
Jenis materi diketahui bervariasi seperti materi bersifat fakta, konsep, prinsip, prosedur. Selain itu terdapat jenis materi yang menekankan pada ranah afektif, psikomotor. Pada pembelajaran sains materi yang bersifat prinsip dan prosedural akan memilih strategi pengajaran praktikum. Berbagai jenis praktikum memiliki variasinya. Prkatikum yang bersifat guided dan free discovery/inquiry menghendaki variasi referensi yang harus diperoleh siswa baik melalui internet, perpustakaan, maupun wawancara pakar. Materi yang bersifat afektif seperti pemberian respon, penerimaan (apresiasi), internalisasi, dan penilaian. Materi pembelajaran aspek motorik terdiri dari keterampilan siswa dalam menggunakan mikroskop dan melakukan titrasi zat.
c. Memilih bahan ajar yang sesuai atau relevan dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar.
Bahan ajar mengacu pada standar kompetensi dan kompetensi dasarnya. Dengan mengacu pada kompetensi dasar, kita akan mengetahui apakah materi yang harus kita ajarkan berupa fakta, konsep, prinsip, prosedur, aspek sikap, atau psikomotorik.
d. Memilih sumber bahan ajar.
Sumber bahan ajar dapat diperoleh melalui internet, buku, wawancara pakar, ensiklopedi, kliping koran atau majalah yang tepat.
Sumber:
Zulfiani, dkk. 2009. Strategi Pembelajaran Sains. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN.
Minggu, 29 Januari 2012
Tiga Teori yang Melandasi Pendidikan
(a) Teori Tabularasa (John Locke dan Francis Bacon)
Teori ini mengatakan bahwa anak yang baru dilahirkan itu dapat diumpamakan sebagai kertas putih yang belum ditulisi (a sheet ot white paper avoid of all characters). Jadi, sejak lahir anak itu tidak mempunyai bakat dan pembawaan apa-apa. Anak dapat dibentuk sekehendak pendidiknya. Di sini kekuatan ada pada pendidik. Pendidikan dan lingkungan berkuasa atas pembentukan anak.
Pendapat John Locke seperti di atas dapat disebut juga empirisme, yaitu suatu aliran atau paham yang berpendapat bahwa segala kecakapan dan pengetahuan manusia itu timbul dari pengalaman (empiri) yang masuk melalui alat indera.
Kaum behavioris juga berpendapat senada dengan teori tabularasa itu. Behaviorisme tidak mengakui adanya pembawaan dan keturunan, atau sifat-sifat yang turun-temurun. Semua Pendidikan, menurut behaviorisme, adalah pembentukan kebiasaan, yaitu menurut kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di dalam lingkungan seorang anak.
(b) Teori Navitisme (Schopenhauer)
Lawan dari empirisme ialah nativisme. Nativus (latin) berarti karena kelahiran. Aliran nativisme berpendapat bahwa tiap-tiap anak sejak dilahirkan sudah mempunyai berbagai pembawaan yang akan berkembang sendiri menurut arahnya masing-masing. Pembawaan anak-anak itu ada baik dan ada yang buruk. Pendidikan tidak perlu dan tidak berkuasa apa-apa.
Aliran Pendidikan yang menganut paham nativisme ini disebut aliran pesimisme. Sedangkan yang menganut empirisme dan teori tabularasa disebut aliran optimisme.
Kedua teori tersebut ternyata berat sebelah. Kedua teori tersebut ada benarnya dan ada pula yang tidak benarnya. Maka dari itu, untuk mengambil kebenaran dari keduanya, William Stern, ahli ilmu jiwa bangsa Jerman, telah memadukan kedua teori itu menjadi satu teori yang disebut teori konvergensi.
(c) Teori Konvergensi (William Stern)
Menurut teori konvergensi hasil pendidikan anak dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu pembawaan dan lingkungan. Diakui bahwa anak lahir telah memiliki potensi yang berupa pembawaan. Namun pembawaan yang sifatnya potensial itu harus dikembangkan melalui pengaruh lingkungan, termasuk lingkungan pendidikan, oleh sebab itu tugas pendidik adalah menghantarkan perkembangan semaksimal mungkin potensi anak sehingga kelak menjadi orang yang berguna bagi diri, keluarga, masyarakat, nusa, dan bangsanya.
Hak negara terhadap pengajaran dan pendidikan juga diterimanya dari Tuhan (bukan negara polisi atau totaliter), seperti hak orang tua terhadap anaknya. Tetapi, hak itu bukan karena kedudukannya sebagai orang tua, melainkan karena gezag atau kekuasaan yang menjadi milik negara untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan bangsanya, yang sudah menjadi tujuan negara itu sendiri.
Negara mempunyai hak dan kewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran bagi warga negaranya, sesuai dengan dasar-dasar dan tujuan negara itu sendiri, yaitu mengatur kehidupan umum menurut ukuran-ukuran yang sehat sehingga menjadi bantuan bagi pendidikan keluarga dan dapat mencegah apa-apa yang merugikan perkembangan anak untuk mencapai kedewasaannya.
Apabila keluarga tidak mungkin lagi melaksanakan pendidikan seluruhnya (misalnya pendidikan kecerdasan, pengajaran, dan sebagian dari pendidikan sosial ; perkumpulan anak-anak), disitulah negara, sesuai dengan tujuannya, harus membantu orang tua dengan jalan mendirikan sekolah-sekolah dan badan-badan sosial lainnya. Demikian juga, negara berhak dan berkewajiban melindungi anak-anak, bila kekuatan orang tua – baik material maupun moral – tidak dapat mencukupi, misalnya karena kurang mampu, tidak sanggup, atau lalai.
Jadi, jelas di sini bahwa hak orang-orang itu tidak mutlak. Hak itu terikat oleh hukum alam dan hukum Tuhan, dan pendidikan itu harus pula sesuai dengan kesejahteraan umum. Tetapi, hak negara yang demikian (turut campur tangan) tidak untuk menduduki tempat orang tua, namun hanya untuk menambah yang kurang saja. Apabila perlu – misalnya, hak orang tua itu dicabut (gila dan sebagainya) – negara harus berusaha memberikan pendidikan kepada si anak, yang sedapat-dapatnya mendekati pendidikan keluarga si anak atau menyerahkan anak itu pada keluarga lain, tidak perlu menjadikan anak milik negara.
Lebih lanjut, negara harus berusaha dan memberi kesempatan agar semua warga negara mempunyai pengetahuan cukup tentang kewajiban-kewajiban sebagai warga negara dan sebagai anggota bangsa yang mempunyai tingkat perkembangan jasmani dan rohani yang cukup, yang diperlukan untuk kesejahteraan umum (pendidikan kewarganegaraan), dan tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan yang berlaku di negara yang bersangkutan.
Negara berhak memiliki sendiri apa yang perlu untuk pemerintahan dan untuk menjamin keamanan, juga untuk memimpin dan mendirikan sekolah-sekolah yang diperlukan untuk mendidik pegawai-pegawai dan tentaranya, asal pemimpin ini tidak mengurangi hak-hak orang tua.
Sumber :
Soetopo, Hendyat. 2005. Pendidikan dan Pembelajaran (Teori, Permasalahan, dan Praktek). Malang : UMM Press.Selasa, 03 Januari 2012
Teknik Pengayaan Pembelajaran Matematika Bagi Siswa di Bawah Rata-Rata
Menurut Posamentier dan Stepelman (1990), ada beberapa cara memberi pengayaan bagi siswa yang lamban belajar (siswa di bawah rata-rata), yakni sebagai berikut :
1. Pemberian masalah yang realistik, berupa penerapan matematika dalam kehidupan sehari-hari.
2. Pemberian rekreasi matematika. Disini, matematika disampaikan dalam bentuk rekreasi, misalnya permainan, teka-teki, atau lainnya.
3. Pengintegrasian sejarah matematika dalam pembelajaran. Dengan cara ini, siswa diharapkan akan lebih menghargai tentang topik yang sedang dipelajari. Mereka akan termotivasi untuk ingin tahu bila mereka mengetahui asal muasal mengenai topik matematika yang akan dipelajari.
4. Aktivitas matematika di luar kelas (karyawisata matematika). Walau secara tidak langsung, namun dengan cara ini, diharapkan dapat memperkaya wawasan siswa tentang matematika di sekitar kita. Bentuknya bisa berupa investigasi fenomena alam yang bisa secara sederhana dapat diselesaikan dengan bantuan matematika.
Sumber :
Posamentier dan Stepelman. 1990. Teaching Secondary School Mathematics : Techniques and Enrichment Units. Merril Publishing company. dalam Turmudi & Aljupri. 2009. Pembelajaran Matematika. Program Peningkatan Kualifikasi Guru Madrasah dan Guru Pendidikan Agama Islam pada Sekolah. Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Islam. Departemen Agama.
Luas Daerah Trapesium
luas trapesium ABCD = luas segitiga ADE + luas persegi panjang CDEF + luas segitiga BFC
luas trapesium ABCD = (1/2 x AE x t) + (CD x t) + (1/2 x BF x t)
luas trapesium ABCD = 1/2 x t x (AE + 2 x CD + BF)
luas trapesium ABCD = 1/2 x t x (AE + 2 x EF + BF)
luas trapesium ABCD = 1/2 x t x (AE + EF + BF + EF)
luas trapesium ABCD = 1/2 x t x (AB + CD)
sumber : Turmudi & Aljupri. 2009. Pembelajaran Matematika. Program Peningkatan Kualifikasi Guru Madrasah dan Guru Pendidikan Agama Islam pada Sekolah. Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Islam. Departemen Agama.
Senin, 02 Januari 2012
Luas Layang-Layang
Layang-layang adalah segiempat yang sepasang sisi-sisinya yang berdekatan sama panjang.
berdasarkan sifat layang-layang, AB = BC dan CD = DA.
luas layang-layang ABCD = luas segitiga ABC + luas segitiga ADC
luas layang-layang ABCD = (1/2 x AC x EB) + (1/2 x AC x ED)
luas layang-layang ABCD = 1/2 x AC x (EB + ED)
luas layang-layang ABCD = 1/2 x AC x DB
karena AC dan BD masing-masing adalah diagonal-diagonal dari layang-layang ABCD, maka luas daerah layang-layang sama dengan setengah kali perkalian diagonal-diagonalnya.
sumber : Turmudi & Aljupri. 2009. Pembelajaran Matematika. Program Peningkatan Kualifikasi Guru Madrasah dan Guru Pendidikan Agama Islam pada Sekolah. Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Islam. Departemen Agama.
Luas Daerah Belah Ketupat
Belah ketupat adalah segiempat yang memiliki empat buah sisi yang panjangnya sama.
luas belah ketupat ABCD = luas segitiga ACD + luas segitiga ACB
luas belah ketupat ABCD = (1/2 x AC x ED) + (1/2 x AC x EB)
luas belah ketupat ABCD = 1/2 x AC x (ED + EB)
luas belah ketupat ABCD = 1/2 x AC x BD
karena AC dan BD masing-masing adalah diagonal dari belah ketupat ABCD, maka bila AC = d1 dan BD = d2
jadi, luas belah ketupat ABCD = 1/2 x d1 x d2
sumber : Turmudi & Aljupri. 2009. Pembelajaran Matematika. Program Peningkatan Kualifikasi Guru Madrasah dan Guru Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah. Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Departemen Agama.
Luas Daerah Segitiga Secara Konsep
Secara konsep, luas daerah segitiga adalah banyaknya persegi satuan yang menutupi segitiga tersebut. Tetapi bila kita menggunakan definisi tersebut secara langsung, maka tentu tidak mudah, banyak kesulitan. oleh karena itu, cara untuk menentukan luas daerah suatu segitiga dapat menggunakan bantuan luas daerah persegi panjang atau persegi.
berikut ini prosesnya :
luas ABEF = luas segitiga AFC + luas segitiga ADC + luas segitiga BDC + luas segitiga BEC
karena luas segitiga AFC = luas segitiga ADC dan luas segitiga BDC = luas segitiga BEC, maka
luas ABEF = (2 x luas segitiga ADC) + (2 x luas segitiga BDC)
luas ABEF = 2 x (luas segitiga ADC + luas segitiga BDC)
luas ABEF = 2 x luas segitiga ABC
jadi, luas segitiga ABC = 1/2 x luas ABEF
karena, luas ABEF = AB x BE, dan karena BE = CD, maka
luas segitiga ABC = 1/2 x AB x CD
tampak dari gambar, bahwa AB adalah panjang alas dari segitiga ABC,
dan CD adalah tinggi dari segitiga ABC,
sehingga, luas segitiga ABC = 1/2 x alas x tinggi
sumber : Turmudi & Aljupri. 2009. Pembelajaran Matematika. Program Peningkatan Kualifikasi Guru Madrasah dan Guru Pendidikan Agama Islam pada Sekolah. Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Departemen Agama.