Salah satu cara untuk mengorganisasi informasi yang jumlahnya banyak adalah memilih faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi pada saat-saat yang berbeda dalam proses belajar (Wlodkowski, 1982).
Sebagai siswa yang mulai belajar di kelas, mereka membawa sikap dan kebutuhan-kebutuhan. Keduanya, sikap dan kebutuhan mempengaruhi motivasi dan partisipasi di dalamnya. Selama pelajaran, terlihat segera kegiatan siswa, perasaan-perasaannya dan pengalaman-pengalamannya mempengaruhi motivasi. Jika siswa merasa kompeten karena prestasi mereka sendiri dan usaha-usaha mereka di-reinforced sesudah akhir pelajaran, mereka akan lebih termotivasi untuk mengikuti tugas-tugas yang sama pada waktu yang akan datang.
1. Sebelum Belajar : Sikap dan Kebutuhan
Sebelum mulai kegiatan belajar, Wlodkowski (1981) menyarankan supaya guru membuat pertanyaan bagi dirinya sendiri yang berhubungan dengan motivasi. (1) APa yang dapat saya lakukan untuk menjamin sikap positif saya terhadap kegiatan yang akan datang ? (2) Bagaimana yang paling baik supaya saya dapat menerima kebutuhan-kebutuhan siswa saya melalui kegiatan ini ?
Untuk menjawab pertanyaan pertama, kita harus tahu faktor-faktor apa yang mempengaruhi sikap-sikap siswa. Kita telah membicarakan bentuk-bentuk sikap positif dan negatif terhadap sekolah ketika kita mempelajari classical conditioning. Penerapan prinsip classical conditioning yaitu situasi yang mengelilingi siswa dibuat sepositif mungkin. Ditambah untuk memberi pengalaman-pengalaman yang menyenangkan bagi siswa untuk belajar, guru dapat juga berkonfrontasi dengan sikap-sikap siswa yang negatif secara langsung. Di dalam kelas matematika, guru mungkin menanyakan pada dirinya sendiri bagaimana siswa yang begitu banyak percaya terhadap materi yang sangat sulit yang diberikan ? Apakah dasarnya terhadap kesan saya ini ? Apa yang membuat materi pelajaran lebih mudah ?. Sikap yang paling besar dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman yang terdahulu dengan situasi yang sama, sehingga sikap positif terus-menerus menantang guru.
Untuk pengajaran, guru dalam mencapai perkembangan yang penuh dan menghadapi tugas-tugas yang relevan meliputi kebutuhan akan berprestasi, tingkat aspirasi dan mempertemukan kebutuhan siswa.
Sebagai seorang guru, motivasi berprestasi mungkin dapat membantu dalam merencanakan kegiatan-kegiatan, dimana siswa membutuhkan untuk berprestasi dan menghindari kegagalan. Menurut teori ini, siswa yang bermotivasi tinggi untuk mencapai prestasi akan merespons dan menantang lebih banyak terhadap tugas-tugas yang diberikan guru, mendapat nilai-nilai yang baik, memberikan umpan balik yang jitu dan benar, menyampaikan masalah-masalah yang baru dan tidak biasa, dan mencari kesempatan untuk mencoba lagi. Siswa yang lebih bersifat menghindari kegagalan akan merespond lebih baik terhadap pekerjaan yang kurang menantang, membutuhkan banyak reinforcement untuk bisa sukses, membuat langkah-langkah kecil dalam belajar, memerlukan nilai-nilai yang toleran, dan menghindari orang-orang lain mengetahui kesalahannya.
1.1 Tingkat Aspirasi
Tujuan yang akan kita capai dan ketakutan akan kegagalan dapat menentukan tingkat aspirasi kita. Tujuan yang kita percaya bahwa kita dapat mencapainya dan bersedia untuk bekerja keras merupakan aspirasi kita. Tingkat aspirasi yang tinggi membutuhkan tantangan dan tujuan yang sulit. Jika seseorang sukses mereka cenderung untuk menaikkan aspirasi mereka.
Sebaliknya, kegagalan kurang dapat diramalkan. Sebagian besar tergantung pada individu itu sendiri sebagai penyebab kegagalan. Kegagalan mungkin berakibat positif sama seperti akibat negatif. Beberapa pengalaman dengan kegagalan dapat sangat berharga bagi individu itu untuk lebih berhati-hati dalam menentukan tindakan. Beberapa siswa tetap belajar walaupun menghadapi kegagalan dan ini merupakan sikap yang sangat penting dalam pembentukan kepribadian.
Pada suatu ketika, mungkin banyak siswa membutuhkan bantuan untuk menemukan sekian alternatif dalam mencapai tujuan mereka atau tujuan yang baru dan lebih realistis. Beberapa siswa mungkin membutuhkan dukungan untuk tingkat aspirasinya yang lebih tinggi dalam menghadapi suku atau kebudayaan lain yang berbeda pandangan dengan mereka. Apa yang "seharusnya" mereka lakukan dan apa yang "seharusnya tidak" mereka lakukan.
Sumber :
Djiwandono, Sri Esti Wuryani. 2002. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Grasindo.
Jumat, 19 September 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar